[Bukan] Sia-Sia

 Hasil gambar untuk hampa
Jika rasa adalah diam sebagaimana waktu yang membungkam kebenaran. Lantas apalah guna rasa dalam hidup? Bila cinta adalah mati laiknya hidup dalam keraguan. Gunakah cinta untuk umat?
Pagi ini bukanlah pagi yang istimewa. Hanya pagi yang biasa-biasa saja, cuman pagi yang harus ada sebagaimana semestinya. Sebuah pagi yang ada dalam rangkaian rotasi kehidupan.  Pagi yang dingin, seperti biasanya. Tak ada cahaya emas yang didambakan. Tak akan ditemukan sinar kehangatan dalam pagi ini. Layaknya pagi di musim penghujan.
“Selamat pagi.”
“Pagi.”
Sapaan pagi juga tak akan ada istimewanya. Sapaan pagi, hanya sapaan seperti biasanya. Lantas apakah yang istimewa? Keistimewaan seperti apa yang sedang dicari? Keistimewaan hakiki seperti apa yang sedang digali?
Siang ini berlalu begitu saja. Tak ada yang istimewa, seperti pagi yang dingin. Berlalu seperti angin, hanya sesaat, lantas pergi karena tak punya urusan. Siang telah berlalu. Tidak ada keistimewan terselip pada siang. Ia tak menitipkan hal itu pada siang. Lantas apa yang dicari? Menanti pada siang tak ada gunanya. Dimana keistimewaan itu? harus kemana untuk mendapat keistimewaan itu?
“Selamat siang,”
Pergi. Jangan ucapkan selamat siang. Siang adalah pembohong. Pergilah. Berlalulah. Jangan hiraukan siang. Keistimewan sama sekali tak dimiliki siang. Cepatlah pergi.
Sore telah kembali. Datang untuk melahap sebagian cahaya. Tapi akankah sore serupa siang? Atau memang sore adalah bagian dari siang? Sore bukan siang. Tapi ia mirip dengan siang. Jugakah ia menyimpan kebohongan? Apakah sore juga tak memiliki keistimewaan itu?
“Selamat sore,”
“So-“ berhenti, jangan katakan itu. Sore telah berlalu. Sore tak memiliki kantong keistimewaan itu. Lagi-lagi ia tak menitipkan hal istimewa pada sore. Argh, ayo cepat pergi. Tinggalkan sore, ia sama sekali tak berguna. Ayo! Ayo! Ayo! Kita harus cepat.
MALAM. Malam? Ah iya, ini malam. Langit-langit tak bewarna biru. Semuanya gelap. Cari! Temukan keistimewaan itu! Tapi tunggu. Kenapa hanya gelap? Di mana keistimewaan itu? Bukankah, bukankah seharusnya malam pemilik keistimewaan itu? Iya! Malamlah pemiliknya, tapi di mana?
“Selamat malam,”
“Selamat malam,” di mana keistimewaan itu? “Hei tunggu!”
“Iya?”
“Istimewa, keistimewaan. Di mana keistimewaan itu?”
“Aku tak memilikinya.” Huh? Pembohong.
“Tidak-tidak. Kalian pemilik keistimewaan itu. Pasti ada di sekitar sini. Tapi aku tak bisa melihatnya. Di mana benda itu  disembunyikan?”
“Aku tak memiliki keistimewaan.”
“Bohong. Jangan berbohong kepadaku!”
“Aku tak memilikinya.”
“Lantas.. lantas di mana keistimewaan itu? Tolong katakan di mana?”
“Tidak ada keistimewaan. Tak akan ada keistimewaan.”
Karena bila rasa adalah diam, serupa kebohongan tak terkuak. Berharaplah sia-sia. Karena bila cinta adalah mati, semacam mengejar pada angan. Memohonlah sia-sia.
Tak ada istimewa. Tak akan bisa istimewa ditemukan. Bahkan jika diharuskan menggali setiap lapisan waktu. Berharaplah pada sia-sia. Karena tak ada istimewa. Tak akan bisa istimewa ditemukan. Tapi, tapi, tapi bentuklah istimewa. Dan jangan pernah berharap pada sia-sia. Karena kamu adalah istimewa.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

[Bukan] sia-sia.

Komentar