Menuju Kesudahan

Malam ini sedikit berbeda dari yang sudah-sudah. Bintang yang biasanya selalu nampak bersama bulan di langit, kini tak lagi terlihat. Seolah-olah ada awan tebal yang berusaha menyembunyikan pemandangan itu, tak ingin aku melihatnya barang sedikit pun. Kurasakan sesuatu bergetar di dalam saku celana ku. Sebuah pemberitahuan hinggap disalah satu aplikasi sosial media milik ku. Sebuah pesan dari seorang teman.


Nurul?
                Ya?
Kenapa enggak ikut?
         Ada acara apa?
Bakar-bakaran. Ini udah pada ngumpul,
tinggal nungguin kamu.
Tinggal aja aku mah. Tahun ini aku absen.
Loh kenapa?
            Dirumah ternyata ada acara.
Okay.

Kupandangi percakapan singkat yang terjadi antara aku dan temanku. Entah mengapa aku tersenyum. Sedikit geli dengan jawaban bohong yang aku berikan pada temanku. Rumahku sepi, tak ada orang selain aku. Lagi pula acara apa yang sedang aku adakan?

Mata ku kemudian beralih melihat deretan angka yang ada pada bagian paling atas. 31/12/2016 . Tanggal terakhir yang ada di kalender 2016. Itu berarti malam ini akan menjadi malam terakhir ditahun 2016.

Pandangan ku kembali teralih pada langit-langit. Sesuatu yang semula berusaha menyembunyikan benda apa pun yang menggantung di langit kini memudar. Samar-samar terlihat titik-titik redup  tersemat di atas sana. Ku pandangi terus titik-titik redup itu hingga berubah menjadi terang.

Sesaat hati ku dilanda perasaan rindu. Aku tak menyangka waktu  akan berjalan sedemikian cepatnya. Ingin rasanya aku memutar waktu, memutar balikkan jarum jam ke masa lampau. Andai aku bisa, mungkin sudah dari dulu aku melakukannya. Kembali ke masa kanak-kanak.

Suara kembang api meletus terdengar dari kejauhan. Meluncur bak pesawat luar angkasa yang terbang menuju ke bulan. Lantas meledak menjadi belasan titik cahaya yang saling berkoordinasi membentuk bunga mekar.

Aku kembali merindu dengan masa kanak-kanak. Dulu, kurasa rumah ini tak pernah sesepi ini. Akan ada suara-suara riuh terdengar di rumah ini. Belasan kembang api meledak menjadi payung rumah.

“Ah, tapi waktu memang telah mengubah semuanya,” kataku tersenyum kecut.

Melihat kembang api yang saling menghiasi malam dengan bintang, rasanya entah mengapa aku merasa terkhianati. Perasaanku sekarang tak terlihat seperti kumpulan bintang dan kembang api yang tergambar di gelapnya langit.

Malam ini berbeda dari yang sudah-sudah. Tak ada candaan tawa dari mulut ayah. Tak ada bubur kacang ijo buatan ibu. Tak ada suara petikan gitar kakak. Malam ini sungguh berbeda. Tak ada tumpukan kembang api yang ditaruh disudut rumah. Tak terdengar sedikit pun suara terompet yang menggemparkan seisi rumah.

Handphone ku kembali bergetar. Menampilkan nama Edo sebagai caller idnya.

“Iya?”

“Yah aku enggak tahu bisa apa enggak Edo. Dirumahku ada acara.”

“Ya ada lah. Gini-gini rumahku tetep rame.”

“Ih, kamu enggak percaya nih ceritanya?”

“Iya ini di rumah ku nama acaranya 'nyepi' jadi ya acaranya kayak gini. Sepi…”

“Hahaha.. kamu kok susah sih dibohingin? Lastri aja percaya lho.”

“Hehehe.. iya deh, iya. Aku kesana nanti.”

 “Aku bisa kesana sendiri kok.”

“Jalanan juga masih rame, kan?”

“Hmmm, aku kesana sekarang nih?”

“Oke, oke. Jangan marah-marah gitu lah.”

“Dadah juga…”

Percakapan terhenti, pemilik suara yang ada di dalam panggilan itu lebih dulu memutuskan sambungan. Sekali lagi kupandangi langit-langit, meneliti bintang-bintang, bulan, dan bunga-bunga kembang api sebelum akhirnya pergi berganti pakaian.

Malam ini berbeda dari yang sudah-sudah. Sepanjang jalan menuju rumah Edo, banyak orang-orang berkumpul sambil menghidupkan kembang api. Terompet ditiup memeriahkan suasana malam itu. Tak jarang rumah-rumah yang ada dipinggir jalan mengadakan acara mereka masing-masing. Seandainya memang suasana diriku semeriah suasana malam ini.

Tak pernah kulihat malam eforia seperti ini. Malam ini, terlihat seperti tuhan sengaja menjadikan malam ini sebagai malam terindah selama aku hidup. Jika saja mereka masih ada disini. Kan ku ajak mereka melihat langit malam sekarang. Akan ku perlihatkan pada mereka malam yang akan mereka lewati begitu saja.

Aku masih ingat pertanyaan Edo tadi siang tentang permohonan apa yang akan aku ucapkan tepat pergantian tahun nanti. Jujur saja, aku tak memiliki permohonan apa pun untuk aku sampaikan pada tuhan. Permohonan terakhir yang sudah aku rapalkan tiap hari, satu-satunya permohonan yang benar-benar aku inginkan tak akan pernah terjadi. Bahkan jika aku harus menangis darah, tuhan tak akan pernah mengabulkannya.

Rumah Edo sama seperti rumah-rumah lainnya, meski terlihat sedikit lebih ramai. Melihat dari kejauhan saja sudah pasti bisa menebak pria muda yang berjalan sambil menenteng baki berisi jagung yang sudah dibubuhi bumbu. Aku hanya melihatnya dari jauh, dari sisi remang-remang persisnya. Hatiku sama sekali tak berniat untuk bergabung meski pria muda itu tampak celingukan mencari seseorang setelah memberikan baki itu pada seseorang.

Malam terasa semakin larut, bulan kembali tak terlihat. Tertutupi kabut tipis yang menyelimuti sesuatu yang indah di atas sana. Tak ada lagi rumah Edo di depan sana, hatiku telah mengukuhkan niatku untuk pergi dari tempat itu. Seperti tahu jika aku ada di sana hanya akan merusak suasana.

Layar handphoneku menampilkan panggilan dari Edo, pria itu masih mencariku dan masih mengharapkan kehadiranku.
“Edo…”

“Nurul, kamu belum berangkat apa? Ini udah malem banget, mending aku jemput ya?”

“Edo…”

“Temen-temen udah pada kumpul, tinggal kamu aja yang belum.”

“Edo aku udah tahu jawabannya.”

“Iya?”

“Aku udah tahu jawabannya Edo. Aku tahu apa yang mau aku minta sama tuhan ditahun 2017 nanti Edo.”

“Nurul sayang, aku mau kok tahu jawabannya. Tapi aku jemput kamu dulu sekarang ya? Keburu terompetnya bunyi.”

 “Edo, aku pengen tahun 2017 nanti bisa kumpul sama yang lainnya.”

“Iya aku jemput kamu biar kamu bisa kumpul sama temen-temen.”

“Aku pengen rumah enggak sesepi sekarang Edo. Aku pengen rumah ramai.”

“Maksudnya apa?”

“Aku pengen kumpul lagi sama keluargaku, Edo. Biar kalau tahun baru lagi aku enggak perlu bohong sama kamu kaya tadi biar rumahku berasa ramai.”

“Kamu ngomong apa sih? Ngeracau ya?”

“Maaf ya Edo.”

“Kenapa minta maaf?”

“Enggak papa, pengen aja minta maaf.”

“Kamu makin lama makin aneh, Nurul. Aku jemput kamu sekarang ya?”

“Maaf ya sayang. Aku minta maaf.”

“Nurul kamu sebenernya kenapa sih?”

“Aku enggak papa kok Edo. Dadah Edo!”

Sambungan terputus, kali ini akulah yang lebih dulu memustuskan sambungan. Layar handphone ku kembali bergetar. Nama Edo terpampang jelas di layar. Tapi tak ku acuhkan panggilan itu. Aku hanya tak ingin membuatnya semakin bingung. Setidaknya aku telah menjawab pertanyaannya tadi siang. Setidaknya aku tak lagi membuatnya penasaran. Aku sudah mengutarakan niatku pada Edo, tak ada lagi yang perlu diperjelas sekarang.


Terompet terdengar berbarengan, kembang api serentak meluncur menciptakan hujan api. Langit telihat lebih hidup dari pada sebelumnya. Memandang ke depan, ke bawah, gelap tak berujung menjadi latar. 


“Tuhan, jikalau memang aku boleh memohon. Dan hanya ini permohonanku yang akan menjadi permohonan terakhirku. Izinkan aku untuk bertemu keluargaku. Di mana pun mereka. Jika kau tak berkenan membawa mereka kepada ku, maka aku yang akan membawa diriku untuk mereka. Karena aku hanya ingin bersama mereka,” senyum ku mengembang seiring langkah kaki ku yang bergerak mendekati bibir tebing. Semakin mengembang ketika aku melayang di atas udara dan tertelan kegelapan yang tak berujung. Membawaku kembali bersama keluarga ku. Mereka orang-orang yang aku cintai. 

Komentar