Hujan Rintik

Hujan sudah mulai turun, meski baru dengan rintik-rintiknya yang jatuh ke bumi. Tapi kau tahu bukan pepatah ‘sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit?’ kupikir hujan pun juga begitu. Hujan rintik tak akan bertahan lama karena hujan lebat datang mengganti.

Seperti halnya sekarang, hujan lebat datang menggusur hujan rintik. Menyerang jutaan manusia dengan bulir-bulirnya. Bagai diserang kawanan banteng liar, berlarian kesana kemari mencari tempat berteduh. Aku satu dari sekian ribu manusia yang berlari pontang panting mencari sesuatu yang kiranya sanggup menghalau air hujan menyentuh tubuhku. Tas selempang yang kukenakan ku ubah menjadi payung sementara. Menembus hujan yang datang dengan tiba-tiba. Cipratan air keruh mengenai kemeja putih ku. Meninggalkan bekas kecoklatan yang kentara sekali terlihat.

Pagi tadi, aku bangun subuh-subuh. Hendak bersiap-siap untuk interview yang akan diadakan pukul sepuluh pagi nanti. Maka selepas sholat subuh aku mulai berbenah. Menyiapkan kemeja putih dan celana panjang hitam yang kubeli di pasar kemarin sore. Sepatu kulit peninggalan bapak juga kusemir ulang. Pagi tadi pun, ketika aku berangkat dari rumah kecil ditengah perkampungan kumuh, langit masih terlihat cerah. Guratan warna jingga masih berpadu dengan langit biru. Tak ada tanda-tanda awan nimbulus akan muncul. Namun siapa yang akan menyangka cuaca akan berubah sedemikian cepatnya. Langit biru cerah berubah menjadi kelabu dalam hitungan menit. Menghancurkan rangkai kata yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada nanti.

Langit masih menumpahkan bebannya, menciptakan anak sungai versi mini. Angin kencang berhembus menerpa wajahku. Menghantarkan harum petrikor menyeruak ke hidung. Kurasa hujan masih akan memakan waktu lama untuk mereda. Jam dinding yang terpajang disalah satu ruko tempatku berteduh menunjuk angka 9 dengan jarum panjang yang berhenti diangkat 10. Percuma aku bangun pagi-pagi. Sepertinya keberuntungan tak berpihak padaku, untuk kesekian kalinya.

Kepalaku lantas menunduk sembari menunggu hujan reda, setidaknya hujan rintik-rintik. Pandanganku jatuh pada sepatu bapak yang telah disemir. Satu-satunya benda peninggalan bapak. Satu-satunya harapan bapak akan masa depan anaknya.


***
Suara jangkrik terdengar dibalik rimbunan rumput. Kali disamping rumah menampilkan bayangan bulan purnama yang bersinar di gelapnya langit. Aku duduk termenung menghadap kali ketika suara decit kayu membuyarkan lamunan. Bapak turun dari teras kayu rumah sambil memopong jaring besar dipundaknya. Ditangannya satu buah lampu minyak menyala, apinya bergoyang ke kanan-kiri seiring langkah kaki bapak mendekat.

"Belum tidur kau rupanya," kata bapak usai duduk bersila di sampingku.

"Belum. Belum ingin tidur," jawabku. Suasana sunyi menyergap, bapak sibuk dengan benang-benang jaring ditangannya.

"Nak, jika sudah besar nanti jangan jadi nelayan. Gajinya sedikit, tak pasti. Makan pun pas-pasan,"  kata bapak disela-sela tangannya menimang jaring. Tangannya cekatan menambal bagian jaring yang berlubang besar.

"Iya, pak."

"Bapak akan berusaha lebih keras agar kau nantinya bisa sekolah tinggi, jadi sarjana. Jadi kalau ingin mencari pekerjaan mudah, tidak seperti bapak. Modal bapak cuman ijazah SMP. Zaman sekarang susah cari kerjaan," katanya lagi.

Aku hanya mengangguk dalam diam meski mataku menatap tangan bapak yang memerah karena jaring-jaring itu. Terbersit perasaan tak tega melihat bapak berusaha keras untuk pendidikanku.

"Bapak ingin besok kau dapat kerjaan tetap. Tidak seperti bapak yang cuman nelayan."

"Pak, aku tak ingin sekolah. Biarlah aku membantu bapak bekerja. Uangnya nanti dipakai untuk biaya pengobatan bapak saja," kataku berbalik dari harapannya. Namun, bapak malah tertawa, bapak bilang penyakit nya tak perlu dipermasalahkan.

”Bapak hanya ingin agar kau ketika besar nanti sukses, hidupnya tidak kesusahan. Soal penyakit bapak ini, tak usah kau pikirkan. Biar bapak yang mencari solusinya sendiri. Kau belajar saja yang serius, buat bapak bangga,” kata bapak di suatu sore. Suaranya lemah, seperti tak bertenaga lagi. Tangannya yang kurus terkulai lemas diatas dipan lusuh milik bapak.
Tiap kali penyakitnya kambuh dan dokter menyarankan untuk menjalani pengobatan secepatnya, bapak hanya merespon biasa-biasa saja. Bilang bahwa penyakitnya yang parah bukan perkara serius. Hingga uang untuk kuliahku terkumpul pun  bapak tetap menolak nya.
***
Suara derai hujan tak lagi terdengar. Matahari mulai bersinar, malu malu menampakkan dirinya dibalik awan-awan tipis. Saat aku mengangkat badan, kulihat seragam yang kukenakan untuk interview tadi sudah lusuh dan bercak coklat karena air hujan terlihat dibeberapa sisi. Sedang jam dinding yang terpajang menunjuk angka sebelas. Tak ada pilihan. Tanganku meraih tas dan menyelempangkannya dipundak, kemudian melangkah kembali menuju rumah.

Pak, maafkan aku. Maafkan anakmu karena tak bisa memenuhi permintaan mu. Bahkan ketika kau telah tiada.









Pict: google

Komentar