Sebuah Elegi dari Hujan

Suara hujan terdengar merdu ditelinga. Bulir-bulir air turun dari lagit, jatuh menuju pijakan bumi. Bayanganmu terputar dibenakku tatkala bulir air itu menimpa wajahku. Wajah manis yang selalu menghangatkan hati. Aku ingat, kamu pun menyukai hujan. Sering kali tubuhmu melompat-lompat kecil dibawah guyuran hujan. Berputar-putar sambil tertawa. Tak jarang aku bertanya dalam hati. Begitu senang kah dirimu dengan keberadaan hujan ketika semua orang menggerutu dengan kehadirannya?


Sore itu hujan turun. Tapi tingkahmu tak seperti biasanya. Kamu hanya diam saat suara air jatuh menghantam genting.

“Ratih diluar hujan,” tanganku menyibak tirai. Melihat jutaan bulir air yang jatuh ke tanah. Namun aku tak mendengar jawaban riangmu. Pun dengan wajahmu yang berseri seperti biasanya.

“Aku tak ingin ada hujan,” ujarmu lirih.

“Tapi.. bukankah kamu menyukai hujan?” tanyaku. Aku berjalan mendekatimu, ikut duduk disebelahmu.

“Aku benci hujan,” katamu, “hujan benci padaku.”

“Ada apa denganmu, Ratih?”

“Aku benci hujan. Hujan benci padaku…”

“Ratih…” panggilku, “kamu kenapa?” aku meraih tangannya. Mengusap telapak tangan itu lembut, berusaha menenangkan pemiliknya.

“Aku benci hujan. Hujan benci padaku...”

“Ratih, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Hujan benci padaku..,” suaramu semakin lirih, “hujan benci padaku Aldo. Hujan membenciku…” Dapat kulihat wajahmu yang terlihat pucat saat itu. Tak ada rona merah yang menghiasi pipimu. 

“Tidak, hujan tidak membencimu.” Jariku beralih mengusap pipinya. Mengaitkan sejumput rambutmu yang menutupi sebagian wajahnya di sela-sela telinganya

Apa kamu tahu, Ratih? saat itu, saat kamu mengatakannya, aku dapat melihat di kedua matamu. Aku dapat melihat kesedihan yang kamu rasakan. Dan lebih dari itu Ratih. Aku dapat melihat ketakutanmu.

Malam itu, ibumu menelponku. Ia bilang aku harus segera ke rumahmu, sesuatu terjadi padamu. Tak tahukah kamu Ratih? badanku kaku, sekujur tubuhku tak bisa digerakkan. Hatiku kalut, khawatir dengan keadaanmu. Aku kelimpungan, panik luar biasa ketika melihatmu duduk menyendiri sambil menangis disudut kamarmu. Kamu tak ingin dibujuk, mulutmu  tak berbicara sedikit pun tentang apa yang barusan kamu alami. Semua  itu tak seperti tingkahmu yang biasanya, apa kamu tahu Ratih?

Paginya, aku pergi mengunjungimu. Namun ibumu melarangku untuk menemuimu. Ia bilang kamu tak ingin bertemu denganku. Apa kamu marah padaku Ratih? Tapi kenapa? Apa aku telah berbuat kesalahan yang tak bisa kamu maafkan?

Aku kembali ke rumahmu saat bintang datang, dan saat itu aku melihat sesuatu yang belum pernah kulihat di rumahmu. Rumahmu sesak dengan orang-orang berpakaian hitam. Ibumu menangis dalam dekapan ayahmu yang juga berbalut kemeja hitam. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan Ratih?

Malam ini Ratih, aku berniat untuk menemui. Aku tak peduli dengan jawaban ayahmu yang akan mengusirku, ataupun suara tangisan ibumu kala mendengar namamu dari mulutku. Aku hanya ingin bertemu denganmu, aku ingin tahu jawaban dari semua perilaku anehmu belakangan ini.

“Ratih aku datang.”

“Apa  kamu tak ingin bertemu denganku?”

“Mengapa kamu marah padaku?”

Aku menunggumu semalaman Ratih. Dibawah guyuran hujan yang kamu senangi. Tapi mengapa kamu tak kunjung datang untuk membukakan pintu? Aku terus memanggil namamu hingga ayahmu datang untuk mengusirku. Sebenarnya ada apa dengan ayahmu Ratih? kenapa ia melarangku untuk menemuimu?

Sore itu, seseorang datang menemuiku. Ia datang ingin memberi tahuku tentang kabarmu. Tapi apa kamu tahu Ratih? yang ia bicarakan sungguh tak masuk akal ditelingaku. Kamu tak berniat meninggalkanku, bukan begitu Ratih? karena itu yang dia katakan.

Aku tak peduli dengan perkatakaan orang itu. Menurutku ia hanya orang asing yang tak tahu apapun tentangmu. Karena jika ia mengenalmu, seharusnya ia tahu jika kamu bukanlah orang yang akan dengan mudahnya meninggalkan seseorang yang kamu cintai. Dan aku mengenalmu Ratih, aku tahu kamu tak akan meninggalkanku. Aku yakin jika sekarang kamu tengah duduk bersantai sambil melihat acara televisi yang kamu suka. Kamu hanya sedang marah padaku.


Maka aku memutuskan untuk akan selalu mengunjungi rumahmu tiap malam, bahkan jika hujan deras datang untuk menghalangiku. Persetan dengan semua perkataan orang tentangmu. Kamu hanya sedang marah. Dan aku datang untuk meminta maaf padamu. Karena aku tahu, kamu tak sedang pergi meninggalkanku. Kamu hanya sedang marah padaku. 

Komentar